Minggu, 10 Februari 2013

Budaya

  • Upacara Adat Mangupa
Di zaman dulu, ritual mangupa erat kaitannya dengan religi kuno sipelebegu yang dianut oleh nenek moyang orang Batak pada masa itu.
Sejak agama Islam masuk dan dianut oleh umumnya etnis Angkola-Mandailing, pelaksanaan acara tradisi mangupa
mengacu kepada ajaran agama Islam di samping ajaran adat. Kata-kata nasihat dalam acara mangupa pun disampaikan sesuai dengan norma-norma agama Islam.

Upacara adat mangupa atau mangupa tondi dohot badan dilaksanakan untuk memulihkan dan atau
menguatkan semangat (spirit) serta badan.


Bahan untuk mangupa dinamakan pangupa yang berupa hidangan yang porsinya bervariasi
sesuai dengan jumlah hadirin/undangan.

Pangupa yang terkecil terdiri atas telur ayam kampung, garam dan nasi, yang dilaksanakan ala kadarnya
oleh halak sabagas (orang satu rumah).
Pangupa yang sedang adalah pangupa manuk (pangupa ayam).
Pangupa yang besar adalah pangupa hambeng (pangupa kambing), dan
yang terbesar adalah pangupa horbo (pangupa kerbau).

Secara simbolik, bahan yang terkandung dalam pangupa seperti telur bulat yang terdiri atas kuning telur dan putih telur;
mencerminkan “kebulatan” (keutuhan) tondi dan badan.

Upacara mangupa dilaksanakan supaya “Horas tondi madingin, pir tondi matogu” yang bermakna
“Selamatlah tondi dalam keadaan dingin/sejuk/nyaman, keraslah tondi semakin teguh bersatu dengan badan
sehingga mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan yang dijalani.”

Kecuali pangupa kecil yang hanya dilaksanakan oleh orang dalam satu rumah, upacara mangupa juga melibatkan
dalihan na tolu (tungku yang tiga penyangganya).
Di samping dalihan na tolu, upacara mangupa yang sedang dan besar juga melibatkan unsur lain, yakni hatobangon
(orang yang dituakan) dari jiran tetangga sekampung dan raja panusunan bulung (pengayom suatu dalihan na tolu tertentu)
yang bertindak sebagai pemimpin upacara/penyimpul.

Upacara mangupa yang terbesar melibatkan pula raja-raja na bona bulu (raja-raja dari kampung asal marga-marga),
raja-raja torbing balok (raja-raja kampung sekitar), dan raja-raja desa na walu
(raja-raja dari desa-desa pada delapan penjuru angin).

  • Upacara Adat Perkawinan
Acara adat dalam etnis Batak mandailling–Mandailing terdiri atas siluluton (duka cita) dansiriaon (suka cita).
Upacara perkawinan adalah horja (pesta) adat suka cita.
Pada garis besarnya, perkawinan menurut masyarakat batak-Mandailing dapat dilakukan dengan dua cara, yakni:
1) Sepengetahuan keluarga yang disebut dengan istilah dipabuat
2) Perkawinan tanpa persetujuan orangtua yang disebut dengan marlojong
Kedua cara ini masing-masing ada aturannya, tata cara, dan tata tertib yang harus selalu dipatuhi oleh setiap orang batak-Mandailing.
Kedua bentuk perkawinan itu tergambar lewat pantun berikut:
Aha na tubu di lambung ni suhat        Apa yang tumbuh dekat keladi
Ulang baen margonjong-gonjong      Jangan dibuat berderet lagi
Adong na marbagas dipabuat              Ada yang kawin dilamar pasti
Dung i muse adong na marlojong        Namun, ada yang kawin lari
Prosesi upacara perkawinan batak-Mandailing dimulai dari musyawarah adatmakkobar/makkatai, yakni berbicara dalam tutur sapa
yang sangat khusus dan unik, antara barisan yang terdapat dalam
dalian na tolu.
Setiap anggota berbalas tutur yang teratur seperti berbalas pantun secara bergiliran dengan pembicara sebagai berikut:
  1. Juru bicara yang punya hajat pesta (suhut) pangatak pengetong (penyusun acara/protokoler)
  2. Suhut (yang punya hajat pesta)
  3. Anak boru suhut (menantu yang punya hajat)
  4. Pisang raut (ipar dari anak boru)
  5. Paralok-alok (peserta musyawarah yang turut hadir)
  6. Hatobangan (raja adat di kampung tersebut/Noblemen-of-Village)
  7. Raja torbing balok (raja adat dari kampung sebelah)
  8. Raja panusunan bulung (raja diraja adat/ pimpinan sidang)
Upacara perkawinan akan dibuka dengan nasihat perkawinan seperti berikut:
Muda dibaen na tu gas-gas, jari-jari on ma na lima
Muda dibaen na marbagas, angkon malo manggolom na lima
Muda istri sigolom sada, angkon suami na i sigolom dua
Muda ibaen na mar ruma tangga, ulang bei sai marlua–lua
Bila berangkat ke ladang bersemak, gunakan jari yang lima
Bila sudah berumah tangga, pegang erat nasihat yang lima
Bila istri menggenggam kesatu, suami genggam yang kedua
Bila sudah berumah tangga, jangan lagi bermain main
Para pembicara akan bersahut-sahutan seperti ditunjukkan pada transkrip di bawah ini:

  • Juru bicara suhut: Ucapan terimakasih dan permohonan mengadakan sidang pesta adatDiharoro ni anak ni rajasongoni anak ni namoranadung martoru abaranamarnayang ni lakka
  • Suhut: Permohonan agar diadakan pestaTakkas ma hami olat ni niat, anak ni raja dohot namora palaluonsian harani dison hami pasahaton songoni dohot manyorahon
  • Anak boru : Mengiring mora (pihak mertua) Manatap ma tu torutu siamun tu siambirang pangodoan ni ami anak boruulang lang-lang pagusayang
  • Pisang raut: Ikut menyerahkan On ma pangidoan ni pisang rautari on ma ari ulang lusutmuda lewat on horbo lusutsarsar ma nadung luhut
  • Hatobangan boru/pisang raut : Memberikan jawaban atas permintaan suhut Anak melpas ma tu namambalosisangape namangalusi manjawab saro sonnarihata ni suhut habolonan nakkinan i
  • Raja kampung : Menjawab permintaanMuda pola tabo ima na bornok, sombu rohapuas dilala
  • Raja kampung sebelah : Menjawab permintaan mudaAu raja i tobing balok sian naritti, hujagit hutarimo andungmunu onmuda saro di naritti jolo hudokkon
  • Raja panusunan bulung: Memutuskan sidang Dalan dalan tu Sidimpuan boluson parsabolas Madung dapot hasimpulan tolu noli ta dokkon Horas …horas… horas


  • Dalian Na Tolu

Dalian na tolu (makna harfiah: “tungku yang tiga”) mencerminkan sistem kekerabatan dalam melaksanakan aktivitas sosial-budaya.
Konsep hubungan fungsional antarmarga dalian na tolu (three pillars)-
pihak kahanggi (barisan satu marga), pihak kedua mora (barisan mertua), dan ketiga anak boru (barisan menantu)-dalam masyarakat diterapkan karena tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Sistem kekerabatan ini mempunyai tiga unsur dasar yang terdiri atas:
Kahanggi, yaitu keluarga laki-laki dari garis keturunan orang tua laki-laki
Anak boru, yaitu keluarga laki-laki dari suami adik/kakak perempuan yang sudah kawin
Mora, yaitu keluarga laki-laki dari saudara istri
Ketiga unsur ini memegang peran penting dalam lingkungan kekeluargaan masyarakat Batak Angkola-Mandailing.
Tutur sapa menjadi lancar kalau ketiga unsur ini jelas keberadaannya. Ketiga unsur ini saling memerlukan dan berfungsi sesuai dengan kedudukannya
Dalam sistem kekerabatan dalian na tolu,interaksi sosial antara mora dan anak boru berlandaskan hak dan kewajiban masing-masing
terhadap satu sama lain. Dalam hal ini, pihak anak boru mengemban fungsi sebagai sitamba na urang siorus na lobi
(si penambah yang kurang si pengurang yang lebih). Karena kewajibannya yang demikian itu, anak boru dikenal pula sebagai
na manorjak tu pudi juljul tu jolo (yang menerjang ke belakang, menonjol ke depan), yang maksudnya pihak anak boru ini sudah semestinya membela
kepentingan dan kemuliaan pihak mora, atau dengan kata lain pihak anak boru harus sangap marmora (menghormati dan memuliakan pihak mora).
Di samping itu, anak boru juga diibaratkan sebagai si tastas nambur (penghalau embun pagi pada semak belukar), yang artinya pihak anak boru
berkewajiban sebagai perintis jalan (barisan terdepan) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi pihak mora.
Pihak anak boru berkewajiban manjuljulkon morana (mengangkat harkat dan martabat pihak mora).
Sebaliknya, pihak mora berkewajiban untuk elek maranak boru (menyayangi dan mengasihi pihak anak boru) agar pihak anak boru senantiasa
manjuljulkon morana.

Kahanggi (saudara semarga) sangat penting artinya bagi setiap individu karena berbagai persoalan hidup seperti
perkawinan, kematian dan mencari nafkah, terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan kahanggi.
Untuk hal ini, para orangtua senantiasa mem beri nasihat untuk manta-manat markahanggi (bersikap
hati-hati terhadap kahanggi) agar tidak timbul perselisihan di antara sesama mereka yang semarga.

Pada suatu upacara adat, tiga status kekeluargaan ini dapat dijelaskan dalam hubungannya dengan suhut (tuan rumah) penyelenggara acara adat, yakni:

Kahanggi : saudara laki-laki dari suhut beserta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki, inklusif para istri mereka
Anak boru : saudara perempuan dari suhut, inklusif para suami mereka, beserta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki
Mora : saudara laki-laki dari ibu, atau mertua dari suhut, serta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki, inklusif istri-istri mereka
Apabila jaringannya diperluas-selain daripada tiga kelompok kekerabatan inti tersebut-maka dikenal juga kelompok kekerabatan tambahan, yakni mora ni mora dan pisang raut.
Mora ni mora adalah kelompok mora dari mora dan pisang raut adalah anak boru ni anak boru (anak boru dari anak boru).

Menurut filosofi orang Batak Angkola-Mandailing, seluruh tali-temali jaringannya dipersatukan oleh satu tali pegangan yang mengikat dari sudut puncaknya.
“Tali pegangan” itulah olong yang menyatukan setiap kelompok kekerabatan dan anggota masyarakat dalam satu sistem sosial dalian na tolu yang secara simbolik dianalogikan
sebagaimana layaknya sebuah “jala” seperti ditunjukkan pada gambar berikut:

Olong (kasih sayang) adalah nilai budaya tertinggi dan paling abstrak yang merupakan landasan bagi hubungan fungsional di antara ketiga kelompok
kekerabatan tersebut, yang lahir karena pertalian darah dan hubungan perkawinan sebagai inti kehidupan ketiga kelompok kekerabatan itu sehingga
masing-masing terintegrasi ke dalam kelompok kekerabatan mora,kahanggi dan anak boru yang terikat hubungan fungsional tersebut senantiasa menempatkan diri mereka sebagai orang-orang
yang sahancit sahasonangan dan sasiluluton sasiriaon (sakit dan senang dirasakan bersama). Sebagai konsekuensinya, orang Batak menjadi
sahata saoloan satumtum sapartahian (seia sekata menyatu dalam mufakat untuk sepakat) dan mate mangolu sapartahian (hidup dan mati dalam mufakat untuk sepakat).

Sejalan dengan terciptanya suatu sistem sosial yang ideal berupa jaringan besar, maka orang Batak secara filosofis-simbolik
memolakan dirinya seperti sebuah jala berbentuk segitiga sama sisi. Setiap sudutnya merupakan posisi penting dalam mengatur hak dan kewajiban setiap kelompok kekerabatan.
Oleh karena itu pada sudut puncaknya ditempatkan kelompok kekerabatan mora,dan pada dua sudut lainnya ditempatkan pula kelompok kekerabatan kahanggi dan anak boru.
Posisi ketiganya bisa saja beralih sewaktu-waktu akibat terjadinya praktek perkawinan, dan hubungan perkawinan pulalah yang menciptakan sisi-sisi yang terentang menautkan ketiganya
sehingga terbentuk pola dasar kehidupan sosial-budaya berupa segi-tiga besar. Di dalamnya secara fungsional terintegrasi sejumlah besar segitiga-segitiga kelompok kekerabatan yang kecil-kecil mengikuti
pola dasar yang menjadi acuannya. Sebagai suatu totalitas, segitiga besar itu bersama segitiga-segitiga kecil yang menjadi isinya menjelma menjadi sistem dalian na tolu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar